Nulisnya cuma iseng, untuk merekam kejadian yang terlintas di benak. Tentang kami :)

Kamis, 24 Agustus 2017

Semua anak sama? atau dipaksa sama?

Sebenarnya cerita ini murni berisi kegalauan emak semata yang ingin berbagi opini dan curhat belaka. Maklum lah, emak-emak yang tidak siap anak dibandingkan, tidak suka anak disamaratakan dan tidak mau anak dipojok-pojokkan. *hikssssss......

Cerita bermula dari awal sekolah panglima dua tahun yang lalu. saat dia masuk teka. Sebagai anak yang kebiasaan di kekep dan jarang dikasi keluar rumah dengan alasan sensor emak terhadap lingkungan anak diseputaran rumah yang kala itu berbahaya, maka panglima tumbuh menjadi anak yang sedikit protektif dengan segala barang2nya dan penuh kehati2an dalam bergerak demi tidak mau menyakiti badannya sendiri dan kurang bersosialisasi. 

Kekurangan kah itu? Bagi kami sih no. Ga penting juga anak harus sangat bisa bergaul, toh dia bukan sosialita. Bergerak hati2? Kami aku yes, ngapain juga harus grasa grusu lari sana sini demi menunjukkan kelincahan ala balita kalo sakit dia sendiri yang rasa. Masalah over proteksi dengan aset sendiri? kami yes lagi lah. Bukan bermaksut pelit tapi dengan begitu panglima belajar menjalankan amanah menjaga barang2 pemberian, toh beberapa barang yang bisa di bagi dengan teman menurutnya akan dibagi juga saat dia bermain. Lalu, masalahnya dimana?

Nah, sejak memutuskan untuk menyekolahkan panglima di usia 4 tahun dengan mendaftarkan di taman kanak2, niat awal kami adalah membuka pergaulan anak menjadi agak sedikit luas dengan mengurai lingkungan yang semula hanya berpatokan pada keluarga inti (Abi ummi dan kakak Deni), lingkaran dalam (Abusyik, Jiddah, Nenek, Miwa2, Pakwa2, Abang2 dan Kakak2 sepupu), keluarga besar (Adiknya jiddah abusyik nenek, sepupu2 ummi dan abi) serta lingkungan seputaran rumah).

Saat awal2 TK sih ga masalah ya, karena milih sekolah juga yang ga full berorientasi pada kegiatan belajar, maka sedikit nyantai dan membuat tujuan utama kami yang memang hendak mengajarkan perkawanan, etika, dan tetek bengek pergaulan yang semula sudah kami ajarkan dirumah  bisa dipraktekkan di lingk sekolah bisa terpenuhi. *halah...teteuuop harus muji diri hehehehe

Kondisi berbeda ketika sudah mulai sekolah di madrasah ini. Dengan maksud demi dapat membuka komunikasi antara guru dan orang tua, setiap jemput pulang sekolah, Ummi sempatkan berdialog singkat dengan ibu walikelas demi untuk mengetahui perkembangan panglima disekolah. Tetap tujuan utama, ga perlu harus pinter banget, yang penting dianya mau dan bisa 60% aja sudah cukup. Toh baru kelas satu ini kan? Ummi nya saja dulu kelas satu baru belajar baca. Bukan enggak mau mengikuti perkembangan zaman yang menuntut serba cepat dan moderat. Tapi, Ini anak, bukan mesin. Kembali kepada fitrah perkembangan anak yang digambarkan dalam agama yang saya imani, maka itulah pakem saya. 

Tapi, apa yang terjadi, minggu2 awal laporan positif yang daya dapat. Selanjutnya? bu walikelas mulai mengeluhkan panglima yang suka terlena dan malas menulis. Kalo kerjaan belum selesai dan disuruh lanjutkan, maka dia ga mau dengar dan masukin buku ke tas *hahahhahaha ini ketawanya sambil miris. Bagaimana saya dan suami menyikapi?

Awal2 panik, sebelum ketemu suami malamnya, panglima sempat saya introgasi dan dialog kami alot, panglima ga mau jelasin kenapa dia bertindak begitu. Meski sudah saya katakan, ini bukan TK lagi, ga boleh main2 lagi, tapi tetap aja dianya pasang muka lempeng *ummi merasa mau ngunyah kertas.
Bahkan tanpa sempat panglimanya istrihat, tanpa peduli dianya lelah saya paksa buka lagi bukunya dan menyelesaikan apa yg belum di buat di sekolah tadi. Abis shalat magrib, emosi masi diubun2, nunggu suami pulang kok ya lama banget. Setelah nidurin si komandan, panglima saya perintahkan makan malam tanpa ditemani, disuruh sikat gigi, trus bobok. Ga boleh keluar kamar lagi. Padahal dia masi jawab kalo mau shalat isya dulu.

Rumah sunyi satu jam......anak2 tidur, abi belum pulang, Ummi diam, merenung dan mulai nangis.................................. *pasangbacksound ala2 film sedih gitu ya...

Abi pulang sambil nemenin di meja makan langsung mengalir cerita monolog tanpa bisa dibendung lengkap dengan tanda baca titik dan koma ga pake jeda buat iklan sponsor. Abi dengerin dengan seksama, tapi ga pake air mata loh...Ummi kan kalo cerita masalah anak2 ga pake nangis meski didepan Abi, air matanya baru keluar kalo udah sendiri *ceritanya sok kuat sok super gitu..... 
Selesai monolog, mulai pak Abi membuka dialog, kita cerita, adu argumen, saling ngasi saran, lempar pendapat *bukan sendok garpu piring panci wajan kompor ya!! hingga akhirnya si abi menyadarkan saya dengan pertanyaan : "ini bukan si ibu yang ngelapor kan? ini karena ummi yang nanya kan? dan Ummi ga juga nanya sama ibunya apa panglima yang paing bawah di posisi kelas kan? artinya, ada kemungkinan masi ada anak2 lain yang jauh dibawah panglima. Kenapa pula mesti risau?
*whuaaaatttt?????  Ini kan bener pake banget? Toh kalo saya ga nanya si Ibu ga akan ngasi tau, kalo ga ngasi tau kan belum ada laporan resmi artinya panglima. 

Setelah diskusi panjang, ummi buru2 wudhu trus shalat isya. trus nangis, mewek lebay. Untung belum terlambat, untuk belum berhari2 di ospek si panglimanya. Ya Allah apa dosa panglima? DIa baru kelas satu, sekolah pun belum satu semester, kenapa harus diburu? trus kalo anak orang kelas satu bahkan udah bisa cas cus bahasa Inggris dan menghitung kali2 dua belas lancar jaya gimana? Itu bukan anak saya, kenapa harus disamakan?? Serah emaknya lah....

Anak itu berbeda, ga bisa dianggap sama, ga bisa disamaratakan, gabisa di seragamkan. Perbedaan mereka menjadi fitrah dan berkah dari Allah. Kenapa saya harus malu dengan laporan sang guru? Padahal ada orang tua spesial yang ditipkan anak2 spesial, mereka ga malu, bahkan mereka kuat dan bertahan demi anak2 mereka.

Saya merasa hina....saya merasa ibu yang tidak berguna....
Allah kirimkan panglima kepada kami segera setelah menikah, dia merupakan berkah dan hadiah. Disaat ada pasangan yang menanti bertahun2, Panglima disegerakan Allah. Disaat anak2 lain grasa grusu bermain, panglima ga susah dikendalikan. Disaat anak2 lain high maintanace dalam dibesarkan. maka panglima itu berbiaya murah meriah. Ga nolak dikasi apapun, ga tantrum saat ga dituruti permintaan, mintanya pun ga macam2 dan yang paling hebat ga marah dan merasa tersaingi saat komandan hadir merebut tahta nya sebagai anak tunggal yang sudah 6 tahun dipegang...Panglima memang luar biasa... *mulai netes air mata...mullai mellowwww

Ya Allah...Sejak besoknya, saya cuma sounding aja ke panglima bahwa ga ada anak bodoh, yang ada anak malas. Bodoh ada obat tapi malas ga ada obat. Kita harus rajin, ga apa ga bisa dengan tugas sekolah tapi perintah bu walikelas harus dilaksanakan. Jika memang ga menang dalam angka, minimal menang di hati walikelasnya jadi anak yang manis dan shaleh. Panglima cuma masi belum mau dan telaten menulis saja. membaca nya dia sudah bisa. Pe er  ummi aja untuk sering2 ajak belajar nulis saat senggang. Chaiyyoooo

wassalam







Tidak ada komentar:

Posting Komentar